EGALITER



Strukturalisasi dipandang sangat penting bagi organisasi manapun. Hanya saja bila organisasi itu berpacu pada strutural belaka, mau sampai kapan organisasi itu dapat mandiri. Kesadaran dari tiap-tiap perorangan dirasa sangat perlu digalakan, agar organisasi itu tidak bergerak seperti gerombolan bebek. Maka konsep yang selalu berujukan kepada sosok struktural harus dikikis selayaknya, agar setiap manusia yang hadir dalam organisasi dapat berkreasi mandiri tanpa memandang hirarki kepemimpinan. Dimaksudkan di sini bukan terhadap sisi kepatuhan atau ketidakpatuhan kita pada tangga-tangga kekuasaan, selebih terhadap kebebasan berkreasi yang memberi ruang kepercayaan diri pada setiap lini-lini manusia organisasi.
Sosok kepemimpinan itu sendiri akan muncul atas kaidah kultur apa yang telah dibagun oleh dirinya terhadap lingkungan. Karena sejatinya kepemimpinan itu akan selalu tersosokan oleh naluri masing-masing yang menilai kadar kepiawaian manusia yang tersosokan dalam kepemimpinan.
Menerawang keadaan realitasnya, dewasa ini masyarakat selalu muak dengan pemimpinannya masing-masing meskipun tidak semua dapat digambarkan seperti itu. Akan tetapi kemuakan ini menjadi opini yang dominan melihat rangkaian gumam-gumam selalu terlontar bilamana kepimpinan itu dikomentari. Dari akar masalah ini, dapat ditarik sebuah anggapan bahwa kepemimpinan selalu meninggalkan sisa-sisa luka bekas kecacatannya yang menjadi bahan bicaraan kalangan pemerhati dan kepemimpinan seseorang itu bukanlah kepemimpinan tuhan yang selalu bertindak absolut.
Bila merujuk kepada budaya mengerutu, masalah-masalah yang bersifat kepemimpinan tidak akan terselesaikan. Yang ada hanya coretan-coretan komentar terhadap kepemiminan. Maka selaku anggota atau bagian yang dipimpin harus turut andil dalam pemecahan masalah ini. Salah satunya, bersama-sama menuntaskan terhadap sesuatu yang dituju dari visi dan misi bersama organisasi. Daripada itu, hal-hal yang menyangkut strukturalis seharusnya tidak menjadi alasan ataupun hambatan untuk berkerja. Karena jika duduk dalam suatu organisasi yang mempunyai tujuan bersama maka dalam masalah pengerjaannya pun marilah bekerja bersama-sama dan tidak perlu lagi memandang siapa pemimpin siapa yang dipimpin. Viva la anarcism.
[ Read More ]

TAK SEINDAH NAMANYA


Syariah :
Jalan menuju oasis bagi penduduk padang pasir

Hari ini kita mengagungkan kata syariah pada label perbankan, namun ekspetasi masyarakat pada prilaku bank syariah masih jauh. Label selalu menjadi masalah, maka selayaknya bank syariah harus mengganti nama dengan bank budaya timur atau bank sistem timur.

Untung saja Soeharto pada jaman orde baru tidak mau meresmikan nama bank muamalat dengan Bank Muamalat Islam Indonesia namun dengan nama Bank Muamalat Indonesia saja. Soeharto pun seorang diktator yang sangat keras, mengerti arti kesakralan kata islam. Daripada itu berhati-hatilah karena manusia tetaplah manusia, jangan berlebihan apalagi berkenaan dengan sifat absolutisme Tuhan.

Bisnis adalah bisnis, mungkin itu jargon yang bisa dipakai oleh bank syariah. Bank syariah adalah bank yang berorientasi bisnis (Profit-Maximum-Oriented) dengan sistem syariah. Mungkin masyrakat yang terlalu dangkal memahami kata syariah, sehingga kata syariah selalu dikonotasikan dengan kata baik (dalam arti yang luas). Tetapi intuisi masyrakat sepertinya masih berfungsi, nyatanya bank syariah dengan sistem islaminya masih pada tataran kulit belum sampai pada isinya. Masih banyak yang menggunakan akad yang cacat. Bank syariah masih belum menerima masyarakat miskin sebagai nasabahnya dan sepertinya bank syariah masih belum sebaik Rasul.

Bunga jadi permasalahan, tetapi kemiskinan masih merajalela. Ini terjadi apakah para pemikirnya yang salah atau aplikasinya yang kurang tepat. Bukankan perbankan itu lahir di jaman modern untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat? Bukankah syariah itu lahir rahmatan lil alamiin (non-apharteid). Lantas kenapa diskriminasi ekonomi itu terjadi bagi kalangan ploretariat dan kaum dhuafa.


Kini kita tahu alasannya mengapa corak ekonomi islam baru dipakai di abad ke-20, padahal ajarannya telah lama muncul berabad-abad silam sebelumnya. Tak lain hanyalah sebagai inovasi baru dalam perkembangan ekonomi setelah berbagai teori runtuh. Selama belum ada teori konvesional yang mapan untuk dijadikan acuan maka corak system syariah ada hanya sebagai pengganti kekosongan saja.
[ Read More ]

ANCAMAN





Lampunya yang sudah redup mengiringi langkah kasabnya. Dengan debu menempel pada plastik dagang yang dipajang di depan, keyakinannya masih tetap kokoh mengunggu pembeli. 

Ini hanya gambaran singkat tentang warung rakyat yang tertatih-tatih menunggu dan mengagungkan pembeli datang. Kehadiran mereka kian termarjinalkan dan tersisihkan oleh zaman. Namun apa dikata, hidup haruslah tetap dibiayai. Mereka tetap menjual barang dagang meski satu atau dua pembeli yang datang tiap harinya.

Geliat dunia modern kian merambah ke pelbagai sektor kehidupan, kehadiran warung-warung yang berbusana modern kini kian marak dipenjuru kota ataupun desa. Sebutlah Minimarket yang sering kita jumpai di setiap suduh daerah. Sebuah toko modern yang sering dikunjungi walau pengunjung hanya membeli air mineral. Inilah realita yang terjadi sekarang, drama kolonial yang diperankan oleh bangsa sendiri.
Sepertinya, pemangku kebijakan sudah tak punya mata dan telingga. Masalah sepertinya ini saja mereka tak bisa memberi peraturan yang layak. Kalau karena alasan kemajuan ekonomi, ekonomi yang mana? Ekonomi bagi kaum kapital? Bukankah ekonomi kerakyatan lebih penting ketimbang ekonomi segelintir orang? Bangsa kita sudah merdeka dari feodalisme, kolonialisme dan imprealisme namun belum untuk yang satu ini. Penjajahan masih terus dilantangkan dalam kemasan yang berbeda. Dijajah dengan keadaan terjajah tak sadar kalau ia berada dalam kuasa penjajah. Ini memang miris bagi hati namun terjadi di depan mata pada tiap harinya. Kenyataan yang pelik dan kompleks untuk dipecahkan secara sendiri.
Kalaulah kita bangsa indonesia tak beri pilihan untuk usaha mandiri, apakah penguasa menghendaki agar rakyatnya menjadi hamba di bawah kaki-kaki perusahaan? jika begitu rupanya, jangan salahkan bila ada hati nurani yang melakukan revolusi dengan memakan korban nyawa. Relakan saja bila perubahan ke arah yang didambakan harus dibayar dengan darah-darah pengorbanan. Biarkanlah kami meneriakan kata dari seorang revolusioner, "HASTA LA VICTORIA SIEMPRE!".
[ Read More ]

IDOLA

Selalu saja jadi perbincangan, tentang sosok yang agungkan. Memang telah menjadi tradisi sejak bangsa masih berbudaya primitif. Dulu manusia menggagungkan manusia shaleh atau yang berpengaruh dalam sosial lokal. Mereka sengaja membuat patung atau prasasti agar kelak generasi selanjutnya mengenalnya. Meski pada akhirnya sosok tersebut disalah artikan sebagai dewa yang mesti disembah.
Perihal sosok, bila penulis ditanya siapa sosok inspiratif, sontak akan jawab dengan lantang "ialah Sukarno dan Muhammad". Bila ada yang bertanya "mengapa?" akan dijawab kembali: "tidak pantas bertanya seperti itu bila dirinya muslim dan bangsa indonesia".
Menanggapi sedikit tentang sosok yang disukai penulis, berpendapat bahwa kebutuhan sosok adalah penting. Terlebih terhadap kedua manusia yang disebutkan di atas, penulis benar-benar merasa terilhami oleh tindakan-tindakan mereka. Tak ayal bila kedua sosok ini bukan hanya disukai oleh penulis, terlebih digandrungi oleh khlayak yang mengenalnya secara mendalam.
Dewasa ini, komunikasi berkembang pesat dan kebutuhan tehadap sosok semakin berkembang. Orang-orang lokal heroik atau pemimpin komunal -bangsa, ras, agama dan lain-lain- tak begitu terkenal. Mereka lenyap ditelan petuah sang media masa. Tak heran bila manusia-manusia rupawan akan cepat meroket. Mereka diperbincangkan bagai hari akhir, diangungkan bagai dewa, dicintai bagai uang, dirindukan bagai hadiah dan ditangisi bagai sang pemberi berkat.
Idola menjadi trend manusia modern, melihat prilaku yang terjadi mereka sepertinya semua sepakat untuk prilaku ini. Meski arti bahasa agak mengganggu iman agamawan, tapi sepertinya masih bisa ditolerlir. Yang akan menjadi masalah ialah dalam penempatan sosok, mana yang akan dipilih? Dan berguna apa ia untuk diri. setiap manusia akan berbeda-beda kebutuhan sosoknya. Tergantung tingkat kemampuan otak dan hati. Biasanya kelas bawah akan lebih menyukai rupawan karena dengan cinta kebahagian akan didapat cuma-cuma dan tak menutup kemungkinan bagi kelas atas.
Peranan idola dalam hidup akan mempengaruhi model yang dipakai. Sosok idola akan menginspiratif pola kehidupan. Tak ayal banyak sekali tiruan-tiruan sang sosok di tengah lingkungan. Berpenampilan layaknya sosok menjadi kebanggaan sendiri. Lebih baik jika sang sosok adalah manusia inspiratif dalam berkehidupan dan mengubah arah kehidupan yang baik. Jika idola rupawan yang bermodalkan rupa wajah dan penampilan, apa yang ingin didapat? Hasrat? Nafsu? ataukah kagum saja?
Bertanyalah kembali!

[ Read More ]